Sabtu, 21 November 2015

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


11.1 Pendahuluan
Salah satu sarana hukum untuk menyelesaikan utang piutang sebelum tahun 1998 kepailitan diatur dalam Faillissment Verordening Stb. Tahun 1905 No. 217 Yo Stb. Tahun 1906 Nomor 348, tetapi sejak tahun 1998 kepailitan diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan, kemudian ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 dan telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Sementara itu, undang-undang tentang kepailitan dan penundaan kewajiban ini didasarkan pada asas-asas, antara lain asas keseimbangan, asas kelangsungan usaha, asas keadilan, dan asas integrasi.
1. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan adalah di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, sedangkan pihak lain dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.
2. Asas Kelangsungan Usaha
Asas kelangsungan usaha adalah terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap di langsungkan.
3. Asas Keadilan
Asas keadilan adalah untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tiap-tiap tagihan terhadap debitor dengan tidak mempedulikan kreditor lainnya.
4. Asas Integrasi
Asas integrasi adalah sistem hukum formil dan hukum materiilnya meruupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.


Dengan demikian, undang-undang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang merupakan perlindungan bagi kepentingan para kreditor umum/ konkuren yang perlunasannya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 113 Yo Pasal 1132 KUH Perdata, terdapat kelemahan dalam perlunasan utang piutang. Diketahui dalam Pasal 1131 KUH Perdata menentukan bahwa seluruh harta benda seseorang baik yang telah ada sekarang maupun yang akan ada, baik bergerak maupun tidak bergerak menjadi jaminan bagi seluruh perikatannya, sedangkan Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan kebendaan menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya. Pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menuurt keseimbangan besar kecilnya tiap-tiap piutang, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan yang sah untuk didahulukan.
Dengan adanya ketentuan kedua pasal tersebut di atas, memungkinkan kreditor-kreditor tidak akan mendapatkan perlunasan 100%, sehingga dengan adanya undang-undang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang akan memberikan keadilan bagi kreditor-kreditor untuk memperoleh hak-haknya dalam pelunasan  utang-piutangnya.

11.2 Pengertian Pailit
Pengertian pailit atau bangkrut menurut Black’s Law Distionary adalah seorang pedagang yang bersembunyi atau melakukan tindakan tertentu yang cenderung mengelabui pihak kreditornya.
Sementara itu, dalam Pasal 1 butir 1, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Pasal 1 butir 4, debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan.
Dalam hal ini, kurator merupakan balai harta peninggalan (BHP) atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan undang-undang ini.
Dalam Pasal 1 butir 7 yang dimaksud dengan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.

11.3 Pihak-Pihak yang Dapat Mengajukan kepailitan
Adapun syarat-syarat yang dapat mengajukan permohonan kepilitan berdasarkan Pasal 2 adalah sebagai berikut.
1. Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas, sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit oleh pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
2. Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum. Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/ atau kepentingan masyarakat luas, misalnya
a. Debitur melarikan diri
b. Debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaan
c. Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat
d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas
e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu
f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum
3. Debitor adalah bank maka permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia.
4. Debitor adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BPPM), karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan BPPM.
5. Debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pension, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang kepntingan public maka permohonan pernyataan pailit sepenuhnya ada pada Mentri Keuangan.

Namun, putusan atas permohonan pernyataan pailit dan lain-lain yang berkaitan dan/ atau diatur dalam undang-undang ini diputuskan oleh pengadilan di daerah hukum meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor. Dalam hal debitor telah meniggalkan wilayah negara Republik Indonesia, pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah pengadilan di daerah hukum meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitor. Sementara itu, apabila debitor adalah persero suatu firma, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma berwenang memutuskan.
Apabila debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya. Jadi, pengadilan yang berwenang adalah pengadilan niaga dalam lingkungan peradilan umum.
Sementara itu, pengadilan niaga dibentuk untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka penyelesaian sengketa secara adil, cepat, terbuka, dan efektif melalui suatu pengadilan khusus yang berfungsi menangani, memeriksa, dan memutuskan berbagai sengketa tertentu di bidang perniagaan termasuk di bidang kepailitan dan penundaan pembayaran dalam penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian.
Dalam hsl permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitor yang masih terikat dalam pernikahan yang sah permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami isteri apabila menyangkut harta bersama, hal ini di buktikan dengan akta nikah yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Putusan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan dalam siding terbuka untuk umum dan dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan diajukan suatu upaya hukum.
Namun, selama putusan atas permoohonan pernyataan pailit belum diterapkan/ diucapkan setiap kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada pangadilan untuk
1. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitor
2. Menunjukan curator sementara untuk mengawasi
a. Pengelolaan usaha debitor dan
b. Pembubaran kepada kreditor, pengalihan atau penggunaan kekayaan debitor dalam kepailitan merupakan kewenang curator.
Dengan demikian, dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat kurator dan seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan.
Hakim pengawas ditunjuk oleh hakim pengadilan niaga yang berkewajiban mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh kurator.
Kedudukan hakim pengawas sangat penting, karena selain mempunyai kewenangan pengawasan juga memimpin pelaksanaan kepailitan berbagai kewenangan yang ada padanya sebagaimana diatur dalam pasal UKK.
Pengadilan wajib mendengar pendapat hakim pengawas sebelum mengambil suatu putusan mengenai pengurusan atau pemberesan harta pailiit.
Sementara itu, kurator berdasarkan Pasal 16 berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/ atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau pennjauan kembail, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan tetap sah dan mengikat debitor. Artinya, perbuatan kurator tidak dapat digugat di pengadilan mana pun.
Apabila kreditor atau debitor tidak mengajukan usul pengangkatan kurator ke pengadilan maka Balai Harta Peninggalan (BHP) bertindak selaku kurator, namun apabila diangkat kurator yang bukan Balai Harta Peninggalan maka kurator tersebut haruslah independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan dengan pihak kreditor atau debitor.

11.4 Keputusan Pailit dan Akibat Hukumnya
Dalam pasal 21 kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diicuapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.
Dengan demikian, demi hukum debitor telah kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit. Apabila debitor adalah perseroan terbatas, organ perseroan tersebut tetap berfungsi dengan ketentuan jika dalam pelaksanaan fungsi tersebut menyebabkan berkurangnya harta pailit maka pengeluaran uang yang merupakan bagian harta pailit adalah wewenang kurator. Putusan dihitung sejak tanggal pernyataan pailit diucapkan, sejak pukul 00.00 waktu setempat.
Dalam pada itu, debitor demi hukum telah kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
Namun, ketentuan sebagaimana dalam pasal 21 diatas tidak berlaku terhadap barang-barang sebagai berikut.
1. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang digunakan oleh debitor dan keluarganya, bagian makanan untuk 30 hari bagi debitor dan keluarganya, yang terdapat ditempat itu.
2. Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa sebagai upah, pensiun, uang tunggu, atau uang tunjangan sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas.
3. Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut UU.
Sementara itu, semua perikatan yang diterbitkan debitor sesudah putusan pernyataan pailit tidak lagi dapat dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit.
Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap debitor pailit maka apabila tuntuan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap debitor pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit.
Dengan demikian, putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksankan termasuk atau juga dengan menyandra debitor.
Dalam pada itu, semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan hakim pengawas harus memerintahkan pencoretannya dan apabila debitor sedang dalam penahanan (gijzeling) harus dilepaskan seketika setelah putusan pailit diucapkan.
Namun, dalam pasal 55 setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lain dapat mengeksekusi haknya seolah olah tidak terjadi kepailitan, sehingga kreditor pemegang hak sebgaiman disebutkan dapat melaksanakan haknya dan wajib memberikan pertanggungjawaban kepada kurator tentang hasil penjualan benda yang menjadi agunan. Kemudian, menyerahkan sisa hasil penjualan setelah dikurangi jumlah uang, bunga, dan biaya kepada kurator.

11.5 Pihak-Pihak yang Terkait Dalam Pengurusan Harta Pailit
Dlam penguasaan dan pengurusan harta pailit yang terlibat tidak hanya kurator, tetapi masih terdapat pihak-pihak lain yang terlibat adalah hakim pengawas, kurator, dan panitia kreditor.
1. Hakim pengawas bertugas mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit.
2. Kurator bertugas melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit.
Dalam pasal 70 kurator dapat dilakukan oleh
a. Balai harta peninggalan
b. Kurator lain, sebagai berikut:
(1) Orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus/atau membereskan harta pailit.
(2) Terdaftar pada kementrian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang hukum dan peraturan perundang-undangan.
Dalam demikian, sejak mulai pengangkatannya kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima.
Kurator dapat meminta penyegelan harta pailit kepada pengadilan, berdasarkan alasan untuk mengamnkan harta pailit lalu hakim pengawas.
Kurator harus membuat pencatatan harta pailit paling lambat 2 hari setelah menerima surat putusan pengangkatannya sebagai kurator, pencatatan tersebut dapat dilakukan dibawah tangan oleh kurator dengan persetujuan hakim pengawas.
3. Panitia kreditor dalam putusan pailit atau dengan penetapan, kemudian pengadilan dapat membentuk panitia kreditor, terdiri atas 3 orang yang dipilih dari kreditor yang telah mendaftarkan diri untuk diverifikasi, dengan maksud memberikan nasehat kepada kurator.
Kreditor yang diangkat dapat mewakilkan kepada orang lain terhadap semua pekerjaan yang berhubungan dengan tugas-tugasnya dalam panitia. Dalam hal diperlukan, kurator dapat mengadakan rapat dengan panitia kreditor untuk meminta nasehat.
Sementara itu, kurator tidak terikat oleh pendapat panitia kreditor. Oleh karena itu, dalam hal kurator tidak menyetujui pendapat panitia kreditor maka kurator dalam waktu 3 hari wajib memberitahukan hal itu kepada panitia kreditor.
Dalam rapat kreditor, hakim pengawas bertindak sebagai ketua, sedangkan kurator wajib hadir dalam rapat kreditor. Rapat kreditor, seperti rapat verifikasi, rapat membicarakan akur (accord), rapat luar biasa, dan rapat pemberesan harta pailit.

11.6 Penundaan Kewajiiban Pembayaran Utang
Dalam Pasal 222, penundaan kewajiban pembayaran utang diajukan oleh debitor yang mempunyai lebih dari satu kreditor.
Sementara itu, penundaan kewajiban pembayaran utang diberikan kepada debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.
Dalam hal debitor adalah bank, perusahaan efek, bursa efek, lembaga keliring dan penjamin, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan public maka yang dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah lembaga sebagaimana dimaksud di atas.
Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus diajukan kepada pengadilan niaga dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya. Dalam permohonan tersebut, harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitor beserta surat bukti secukupnya.
Namun, pemberian penundaan kewajiban pembayaran utang tetap berikut perpanjangannya ditetapkan oleh pengadilan berdasarkan
a. Persetujuan lebih dari ½ jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.
b. Persetujuan lebih dari ½ jumlah kreditor tentang hak suara kreditor yang piutangnya dijamin, dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan kreditor atau kuasanya yang hadir dalam siding tersebut.
Sementara itu, pengadilan harus mengangkat panitia kreditor apabila
a. Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang meliputi utang yang bersifat rumit atau banyak kreditor
b. Pengangkatan tersebut dikehendaki oleh kredior yang mewakili paling sedikit ½ bagian dari seluruh tagihan yang diakui
Dengan demikian, dalam putusan yang mengabulkan penundaan kewajiban pembayara utang sementara, pengadilan dapat memasukan ketentuan yang dianggap perlu untuk kepentingan kreditor.
Dalam hal ini, hakim pengawas setiap waktu selama berlangsung penundaan, berkewajiban melakukan pengawasan pembayaran utang tetap berdasarkan
a. Prakarsa hakim pengawas
b. Permintaan pengurus atau permintaan satu atau lebih kreditor.
Selama penundaan kewajiban pembayaran, debitor tanpa persetujuan pengurus tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebgian hartanya. Apabila debitor melanggar ketentuan tersebut, pengurus berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta debitor tidak dirugikan karena tindakan kreditor tersebut.
Sementara itu, dalam Pasal 244 tidak berlaku penundaan kewajiban pembayran utang, antara lain
a. Tagihan yang dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya
b. Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan, atau pendidikan yang sudah harus dibayar dan hakim pengawas harus menentukan jumlah tagihan yang sudah ada dan belum dibayar sebelum penundaan kewajiban pembayaran utang yang bukan merupakan tagihan dengan hak untuk diistimewakan
c. Tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik debitor maupun terhadap seluruh harta debitor yang tidak tercakup di atas
Dengan demikian, penundaan kewajiban pembayaran utang dapat diakhiri atas permintaan hakim pengawas, satu atau lebih kreditor, atau atas prakarsa pengadilan, dalam hal
a. Debitor selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang bertindak dengan itikad buruk dalam melakukan pengurusan terhadap hartanya
b. Debitor telah merugi atau telah mencoba merugiksan kreditornya
c. Debitor melakukan pelanggaran dalam pasal 240
d. Debitor lalai dalam melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan kepadanya oleh pengadilan pada saat atau setelah penundaan kewajiban pembayaran utang diberikan atau lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diisyaratkan oleh pengurus demi kepentingan harta debitor
e. Selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang, keadaan harta debitor ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya penundaan kewajiban pembayaran utang
f. Keadaan debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajiban terhadap kreditor pada waktunya

11.7 Pencocokan (Verifikasi) Piutang
Pencocokan piutang merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam proses keailitan, karena dengan pencocockan piutang inilah nantinya ditentukan perimbangan dan

urutan hak dari masing-masing kreditor, yang dilakukan paling lambat 14 hari sejak putusan pernyataan pailit mempunyai kekuatasn hukum tetap. Dalam hal ini, hakimpengaswas dapat menetapkan
a. Batas akhir pengajuan tagihan
b. Batas akhir verifikasi pajak untuk menentukan besarnya kewajiban pajak sesuai dengan peraturan perundang undangan dibidang perpajakan
c. Hari, tanggal, waktu, dan tempat rapat kreditor untuk mengadakan pencocokan utang
Sementara itu, semua kreditor wajib menyerahkan piutangnya masing-masing kepada kurator disertai dengan perhitungan atau keterangan tertulis lainnya yang menunjukkan sifat dan jumlah piutang, disertai dengan surat bukti atau salinannya dan suatu pernyataan ada atau tidaknya kreditor mempunyai hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk menahan benda.
Dengan demikian, kurator berkewajiban untuk melakukan pencocokan antara perhitungan-perhitungan yang dimasukan dengan catatan-catatan dan keterangan-keterangan bahwa debitor telah pailit.
Setelah itu kurator harus membuat daftar piutang dengan memilah-milah antara piutang yang disetujui dan yang dibantah. Salinan daftar piutang tersebut diatas, harus diletakkan di kantor kurator untuk selama 7 hari sebelum rapat pencocokan piutang, agar dapat dilihat oleh pihak pihak yang berkepentingan.
Dengan demikian, dalam rapat pencocokan piutang hakim pengawas berkewajiban membacakan daftar piutang yang sementara telah diakui dan oleh kurator telah dibantah untuk dibicarakan dalam rapat ini. Suatu piutang yang telah diakui dalam rapat mempunyai kekuatan mutlak dalam kepailitan, sedangkan terhadap piutang yang dibantah/ tidak diakui, sementara hakim pengawas tidak dapat mendamaikannya maka hakim pengawas akan menunjuk para pihak untuk menyelesaikannya dalam suatu siding pengadilan yang ditentukan olehnya.
Dengan demikian, debitor wajib hadir sendiri dalam rapat pencocokan piutang agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh hakim pengawas mengenai sebab musabab kepailitan dan keadaan harta pailit.

11.8 Perdamaian (Accord)
Debitor pailit berhak untuk menawarkan rencana perdamaian (accord) kepada para krediturnya. Namun, apabila debitor pailit mengajukan rencana perdamaian, batas waktunya paling lambat 8 hari sebelum rapat pencocokan piutang menyediakannya dikepaniteraan pengadilan agar dapat dilihat dengan cuma - cuma oleh setiap orang yang berkepentingan. Rencana perdamaian tersebut wajib dibicarakan dan segera diambil keputusan setelah selesainya pencatatan piutang.
Namun, apabila rencana perdamaian telah diajukan kepada panitera, hakim pengawas harus menentukan
a. Hari terakhir tagihan harus disampaikan kepada pengurus
b. Tanggal dan waktu rencana perdamaian yang diusulkan akan dibicarakan dan diputuskan dalam rapat kreditor yang dipimpin oleh hakim pengawas
Dengan demikian, rencana perdamaian ini diterima apabila disetuju dalam rapat kreditor oleh lebih dari ½ jumlah kreditor konkuren yang hadir dalam rapat dan haknya diakui atau untuk sementara diakui yang mewakili paling sedikit 2/3 dari jumlah seluruh piutang konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.
Sementara itu, pengadilan berkewajiban menolak pengesahan perdamaian apabila
a. Harta debitor termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan suatu benda jauh lebih besar dari pada jumlah yang disetujui dalam perdamaian
b. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin
c. Perdamaian itu dicapai karena penipuan atau persekongkolan dengan satu atau lebih kreditor atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini
Dengan demikian, perdamaian yang diserahkan berlaku bagi semua kreditor yang tidak mempunyai hak untuk didahulkan dengan tidak ada pengecualian, baik yang telah mengajukan diri dalam kepailitan maupun tidak.
Dalam hal ini, perdamaian atau pengesahan jika ditolak debitor pailit tidak dapat lagi menawarkan perdamaian dalam kepailitan tersebut.
Putusan pengesahan perdamaian yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap merupakan alas hak yang dapat dijalankan terhadap debitor dan semua orang yang menanggung pelaksanaan perdamaian. Sehubung dengan piutang yang telah diakui, sejauh tidak dibantah oleh debitor pailit sesuai dalam acara berita pencocokan piutang walaupun sudah ada perdamaian, kreditor tetap memiliki hak terhadap para penanggung dan sesama debitor, sehingga hak kreditor terhadap benda-benda pihak ketiga tetap dimilikinya seolah-olah tidak ada suatu perdamaian.
Dalam hal ini, pengesahan perdamaian telah memperoleh kekatan hukum tetap. Kepailitan berakhir dan kurator wajib mengumumkan perdamaian dalam Berita Negara Indonesia dan paling sedikit dua surat kabar harian yang beredar secara nasional.
Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila debitor lalai memenuhi isi perdamaan tersebut.
Debitor wajib membuktikan bahwa perdamaian telah dipenuhi. Apabila tidak dapat dibuktikan maka dalam putusan pembatalan perdamaian diperintahkan supaya kepailitan dibuka kembali.
Dalam hal kepailitan dibuka kembali, harta pailit dibagi diantara para kreditor (insolvensi) dengan cara
a. Jika kreditor lama maupun kreditor baru belum mendapat pembayaran, hasil penguangan harta pailit dibagi di antara mereka secara pukul rata adalah pembayaran menurut besar kecilnya piutang masing-masing
b. Jika telah dilakukan pembayaran sebagian kepada kreditor lama, kreditor lama dan kreditor baru berhak menerima pembayaran sesuai dengan presentase yang telah disepakati dalam perdamaian
c. Kreditor lama dan kreditor baru berhak memperoleh pembayaran secra pukul rata atas sisa harta pailit setelah dikurangi pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf b sampai dipenuhinya seluruh piutang yang diakui
d. Kreditor lama yang telah memperoleh pembayaran tidak diwajibkan untuk mengembalikan pembayaran yang telah diterimanya
11.9 Permohonan Peninjauan Kembali
Terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuasaan hukum tetap, dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, permohonan peninjauan kembali dapat diajukan apabila
a. Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan
b. Dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata

Referensi : Sari, Elsi Kartika dan Advendi Simangunsong. 2007. Hukum dalam Ekonomi. Jakarta: Grasindo.


Penyelesaian Sengketa

Sengketa itu terjadi dimulai dari suatu situasi dimana satu pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Perasaan tidak puas akan segera muncul ke permukaan apabila terjadi conflict of interest.  Sementara itu, pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasaaannya kepada pihakkedua, apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memberi perasaan puas kepada pihak pertama maka selesailah konflik tersebut, sebaliknya jika reaksi pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda maka akan terjadi perselisihan, sehingga dinamakan sengketa.
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Pada umumnya, di dalam kehidupan suatu masyarakat telah mempunyai cara untuk menyelesaikan konflik atau sengketa sendiri, yakni proses penyelesaian sengketa yang ditempuh dapat melalui cara-cara formal maupun informal.
Penyelesaian sengketa secara formal berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri dari atas proses melalui pengadilan (litigasi) dan arbitrase (perwasitan), serta proses penyelesaian-penyelesaian konflik secara informal yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui negosiasi, mediasi. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asa kekeluargaan). Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi (Negotiation)
Negosiasi (negotiation) adalah proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) lain. Negosiasi (negotiation) juga diartikan suatu cara penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang berperkara.
Dalam hal ini, negosiasi (negotiation) merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Oleh karena itu, negosiasi (negotiation) merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah, baik yang tidak berwenang mengambil keputusan maupun yang berwenang mengambil keputusan.
Sementara itu, yang harus diperhatikan bagi para pihak yang melakukan perundingan secara negosiasi (negotiation) harus mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan dengan damai. Namun, penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan melalui pihak ketiga dapat terjadi dengan cara, antara lain mediasi dan arbitrase.
2. Mediasi
Mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Dari pengertian tersebut, mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di pengadilan). Pada mediasi, para pihak yang bersengketa, datang bersama secara pribadi. Saling berhadapan antara satu dengan yang lain. Para pihak berhadapan dengan mediator sebagai pihak ketiga yang netral. Peran dan fungsi mediator, membantu para pihak mencari jalan keluar atas penyelesaian yang mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah compromise atau kompromi diantara para pihak.

Sementara itu, pihak ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketa dinamakan sebagai mediator. Oleh karena itu, pengertian mediasi mengandung unsur-unsur, antara lain:
1. Merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan;
2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan;
3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian dan;
4. Tujuan mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.
Dengan demikian, tugas mediator sebagai fasilitator dan menemukan dan merumuskan persamaan pendapat, seperti berikut.
1. Sebagai tugas utama adalah bertindak sebagai seorang fasilitator sehingga terjadi pertukaran informasi yang dapat dilaksanakan.
2. Menemukan dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi para pihak dan berupaya untuk mengurangi perbedaan pendapat yang timbul (Penyesuaian persepsi), sehingga mengarahkan kepada satu keputusan bersama.
Dengan demikian, putusan yang diambil atau yang dicapai oleh mediasi merupakan putusan yang disepakati bersama oleh para pihak yang dapat berbentuk nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi tatanan dalam masyarakat. Selain itu, dapat pula berbentuk putusan yang tidak sejalan dengan tatanan yang ada, tetapi tidak bertentangan dengan nilai atau norma yang berlaku. Namun, putusan tersebut dapat pula bertolak belakang dengan nilai atau norma yang berlaku.
Manfaat-manfaat dari adanya mediasi sebagai berikut.
1. Penyelesaian cepat terwujud (Quick). Rata-rata kompromi di antara pihak sudah terwujud dalam satu minggu atau paling lama satu atau dua bulan. Proses pencapaian kompromi, terkadang hanya memerlukan dua atau tiga kali pertemuan di antara pihak yang bersengketa.

2. Biaya Murah (Inexpensive). Pada umumnya mediator tidak dibayar. Jika dibayar pun, tidak mahal. Biaya administrasi juga kecil. Tidak perlu didampingi pengacara, meskipun hal itu tidak tertutup kemungkinannya itu sebabnya proses mediasi dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.

3. Bersifat rahasia (Confidential). Segala sesuatu yang diutarakan para pihak dalam proses pengajuan pendapat yang mereka sampaikan kepada mediator, semuanya bersifat tertutup. Tidak terbuka untuk umum seperti halnya dalam proses pemerikasaan pengadilan. Juga tidak ada peliputan oleh wartawan.

proses pemerikasaan pengadilan. Juga tidak ada peliputan oleh wartawan.

4. Bersifat fair dengan metode kompromi. Hasil kompromi yang dicapai merupakan penyelesaian yang mereka jalin sendiri, berdasar kepentingan masing-masing tetapi kedua belah pihak sama-sama berpijak di atas landasan prinsip saling memberi keuntungan kepada kedua belah pihak. Mereka tidak terikat mengikuti preseden hukum yang ada. Tidak perlu mengikuti formalitas hukum acara yang dipergunakan pengadilan. Metode penyelesaian bersifat pendekatan mencapai kompromi. Tidak perlu saling menyodorkan pembuktian. Penyelesaian dilakukan secara: a. Informal, b. Fleksibel, c. Memberi kebebasan penuh kepada para pihak mengajukan proposal yang diinginkan.

5. Hubungan kedua belah pihak kooperatif. Dengan mediasi, hubungan para pihak sejak awal sampai masa selanjutnya, dibina atas dasar hubungan kerjasama (cooperation) dalam menyelesaikan sengketa. Sejak semula para pihak harus melemparkan jauh-jauh sifat dan sikap permusuhan (antagonistic). Lain halnya berperkara di pengadilan. Sejak semula para pihak berada pada dua sisi yang saling berhantam dan bermusuhan. Apabila perkara telah selesai, suasana membara akan terus membara dalam dada mereka.

6. Hasil yang dicapai WIN-WIN. Oleh karena penyelesaian yang diwujudkan berupa kompromi yang disepakati para pihak, kedua belah pihak sama-sama menang. Tidak ada yang kalah (lose), tidak ada yang menang (win), tetapi win-win for the beneficial of all. Lain halnya penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Pasti ada yang kalah dan menang. Yang menang merasa berada di atas angin, dan yang kalah merasa terbenam diinjak-injak pengadilan dan pihak yang menang.

7. Tidak emosional. Oleh karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk mencapai kompromi, masing-masing pihak tidak perlu saling ngotot mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki. Tidak saling membela dan mempertahankan kebenaran masing-masing. Dengan demikian proses penyelesaian tidak ditunggangi emosi.
Namun, jika dengan cara mediasi tidak menghasilkan suatu putusan diantara pihak maka masing-masing pihak boleh menempuh cara penyelesaian lain, seperti melalui pengadilan, arbitrase dan lain-lain.
3. Konsiliasi
Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang  berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Namun, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian dari konsiliasi. Akan tetapi, rumusan itu dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 10 dan alinea 9 Penjelasan Umum, yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga alternatif dalam penyelesaian sengketa.
Dengan demikian, konsiliasi merupakan proses penyelesaian sengketa alternatif dan melibatkan pihak ketiga yang diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa.
Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat putusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan di antara mereka.
Lain halnya di negara-negara kawasan Amerika, Eropa, maupun di kawasan Pasifik seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan dan Singapura. Sistem konsiliasi sangat menonjol sebagai alternatif. Mereka cenderung mencari penyelesaian melalui konsiliasi daripada mengajukan ke pengadilan.
Biasanya lembaga konsiliasi merupakan salah satu bagian kegiatan lembaga arbitrase, arbitrase institusional, bertindak juga sebagai konsiliasi yang bertindak sebagai konsiliasi adalah panel yang terdaftar pada arbitrse institusional yang bersangkutan:

1. Sengketa yang diselesaikan oleh lembaga konsiliasi pada umumnya meliputi sengketa bisnis;
2. Hasil penyelesaian yang diambil berbentuk resolution, bukan putusan atau award;
3. Oleh karena itu, hasil penyelesaian yang berbentuk resolusi tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan.
Dengan demikian, walaupun resolusi itu memang bersifat mengikat kepada para pihak, apabila salah satu pihak tidak menaati dengan sukarela tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan. Dalam hal yang seperti itu penyelesaian selanjutnya harus mengajukan gugatan ke pengadilan.
4. Arbitrase
Arbitrase adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa. Dalam hal ini, ada beberap definisi yang diberikan oleh para ahli hukum, antara lain Subekti dan Abdulkadir Muhammad.
a. Subekti mengatakan arbitrase merupakan suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk atau menaati keputusan yang akan diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih atau yang ditunjuk.
b. Abdulkadir Muhammad mengatakan arbitrase merupakan badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan kehendak bebas ini dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.
c. Dalam pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan. Akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan.
Dalam pada itu, penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase lebih disukai oleh pelaku ekonomi dalam kontrak bisnis yang bersifat nasional maupun internasional dikarenakan sifat kerahasiaannya, prosedur sederhana, putusan arbiter mengikta para pihak, dan disebabkan putusan yang diberikan bersifat final.
Arbitrase adalah sebagai upaya hukum dalam perkembangan dunia usaha, baik nasional maupun internasional. Pemerintah telah mengadakan pembaharuan terhadap undang-undang arbitrase nasional dengan dikeluarkan undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Sementara itu, sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasi sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal walaupun disebabkan oleh suatu keadaan, seperti berikut.
a. Meninggalnya salah satu pihak,
b. Bangkrutnya salah satu pihak,
c. Novasi (Pembaharuan Utang),
d. Insolvensi (Keadaan tidak mampu membayar) salah satu pihak,
e. Pewarisan,
f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok,
g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut, atau
h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke pengadilan negeri maka pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan. Dalam pada itu, arbitrase ada dua jenis, yakni:
1. Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter
Arbitrase yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu. Oleh karena itu arbitrase ad hoc bersifat “Insidentil”, dimana kedudukan dan keberadaaanya hanya untuk melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu makaapabila telah menyelesaikan sengketa dengan diputuskan perkara tersebut, keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.
2. Arbitrase institusional
Suatu lembaga atau badan arbitrase yang bersifat “permanen”, sehingga arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar, meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus.
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional dilakukan dalam waktu palinga lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan. Dengan demikian, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan catatan yang merupakan akta pendaftaran.
Dengan demikian, putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum dan mengikat para pihak. Keputusan arbitrase bersifat final, berarti putusan arbitrase merupakan keputusan final dan karenanya tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Putusan arbitrase dibubuhi perintah oleh ketua pengadilan negeri untuk dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang keputusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam hal pelaksanaan keputusan arbitrase internasional berdasarkan undang-undang nomor 30 tahun 1999, yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, suatu putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, jika telah memenuhi persyaratan seperti berikut.
a. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
b. Putusan arbitrase internasional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
c. Putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia dan keputusannya tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
d. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dengan demikian, suatu putusan arbitrase terhadap para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur, seperti berikut.
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah keputusan dijatuhkan diketahui palsu atau dinyatakan palsu.
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan dan yang disembunyikan oleh pihak lawan.
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaaan sengketa.
Dengan demikian, permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari pernyataan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negerti di mana permohonan tersebut diajukan kepada ketua pengadilan negeri.
Terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
5. Peradilan
Dalam hal terjadi suatu pelanggaran hukum, baik berupa hak seseorang maupun kepentingan umum maka tidak boleh begitu saja terhadap si pelanggar itu diambil suatu tindakan untuk menghakiminya oleh sembarang orang. Perbuatan “menghakimi sendiri” sangatlah tercela, tidak tertib, dan harus dicegah.
Dengan demikian, tidak hanya dengan suatu pencegahan, tetapi diperlukan perlindungan dan penyelesaian. Oleh karena itu, yang berhak memberikan perlindungan dan penyelesaian adalah negara. Untuk itu, negara menyerahkan kepada kekuasaaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan dengan para pelaksananya, yaitu hakim. Pengadilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peradilan umum.
Dalam menegakkan hukum, hakim melaksanakan hukum yang berlaku dengan dukungan rasa keadilan yang ada padanya berdasarkan hukum yang berlaku, meliputi yang tertulis dan tidak tertulis. Oleh karena itu, disebutkan bahwa hakim atau pengadilan adalah penegak hukum.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berbeda di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan tata usaha negara dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.
6. Peradilan Umum
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yang dimaksud dengan peradilan umum adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang pada umumnya mengenai perkara perdata dan pidana.
Dengan demikian, kekuasaaan kehakiman dilingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.
1. Pengadilan Negeri

1. Pengadilan Negeri
Pengadilan negeri adalah pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, yang dibentuk dengan keputusan presiden. Sementara itu, pengadilan negeri bertugas dan berwewenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.
2. Pengadilan Tinggi
Pengadilan tinggi adalah pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi yang dibentuk dengan undang-undang.
Sementara itu, pengadilan tinggi bertugas dan berwewenang mengadili perkara pidanan dan perkara perdata di tingkat banding. Pengadilan tinggi juga bertugas dan berwewenang mengadili di tingkat pertama dan terkahir sengketa kewenangan yang mengadili antar pengadilan negeri di daerah hukumnya.
3. Mahkamah Agung
Ketentuan mengenai Mahkamah Agung diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya melepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain, yang berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
Mahkamah Agung bertugas dan berwewenang memeriksa dan memutus;
a. Permohonan kasasi;
b. Sengketa tentang kewenangan mengadili;
c. Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan. Dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan, karena;
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang,
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku,
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam perundang-undangan.
Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu kali dan tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan lagi.
Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui ketua pengadilan negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang diperlukan.
Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berpekara atau ahli warisnya atau seorang wakilnya secara khusus dikuasakan untuk itu dengan tenggang waktu pengajukan 180 hari yang didasarkan atas alasan, seperti berikut.
1. Didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
2. Setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.
4. Mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan sebab-sebabnya.
5. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya yang telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Referensi : Sari, Elsi Kartika dan Advendi Simangunsong. 2007. Hukum dalam Ekonomi. Jakarta: Grasindo.



ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT


10.1 Pengertian
Sebelum di keluarkan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999, sebenarnya pengaturan mengenai persaingan usaha tidak sehat di dasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum dan Pasal 382 KUH Pidana,
Barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang tertentu, di ancam karena persaingan curang dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus ribu rupiah, bila perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkuren – konkuren orang lain itu.

Dengan demikian, dari rumusan pasal 382 KUH Pidana terlihat bahwa seseorang dapat di  kenakan sanksi pidana atas tindakan “persaingan curang” dan harus memenuhi beberapa kriteria, sebagai berikut.
1. Adanya tindakan tertentu yang dikategorikan sebagai persaingan curang.
2. Perbuatan persaingan curang itu dilakukan dalam rangka mendapatkan, melangsungkan, dan memperluas hasil dagangan, atau perusahaan.
3. Perusahaan yang diuntungkan karena persaingan curang tersebut baik perusahaan si pelaku maupun perusahaan lain.
4. Perbuatan pidana persaingan curang dilakukan dengan cara menyesatkan khlayak umum atau orang tertentu.
5. Akibat dari perbuatan persaingan curang tersebut telah menimbulkan kerugian bago konkurennya dari orang lain yang diuntungkan dengan perbuatan si pelaku.
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian monopoli. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha, sedangkan menurut definisi Black’s Law Dictionary,
Monopoly is a privilege or peculiar advantage vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to cary out on particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of the whole supply of a particular commodity,
Selanjutnya dalam Black Law Dictionary dikatakan,
Monopoly as prohibited by secton 2 of The Sherman Antitrust Act, has two elements : (1) Possession of monopoly power in relevant market, (2) Wilful acquisition or maintenance of that power.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Taun 1999 telah didefinisikan mengenai pelaku usaha, yaitu
Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Namun, dalam praktik monopoli berdasarkan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah suatu usaha pemusatan kekuasaan ekonomi oleh suatu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan di kuasainya produksi dan / atau pemasaran atas barang dan / atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Pada hal, Pasal 4 Ayat 2 secara tegas bahwa pelaku usaha patut atau di anggap secara bersama – sama melakukan penguasaan produksi dan / atau pemasaran barang dan atau / jasa jika dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Dengan demikian, Praktik Monopoli tersebut harus di buktikan adanya unsur yang mengakibatkan persaingan tidak sehat dan merugikan kepentingan umum. Oleh karena itu, persaingan berdasarkan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999, “ Persaingan Antar Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan / atau pemasaran barang dan / atau jasa yang di lakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.”



10.2   Asas dan Tujuan
Dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Dengan demikian, tujuan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
3. Mencegah praktik monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat yang di timbulkan oleh pelaku usaha.
4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
10. 3  Kegiatan yang Di Larang
Kegiatan yang di larang dalam praktik bisnis ini adalah monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, persekongkolan, posisi dominan, jabatan rangkap, pemilikan saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis.
1. Monopoli
Monopoli adalah situasi pengadaan barang dagangan tertentu (di pasar lokal atau nasional) sekurang – kurangnya sepertiga di kuasai oleh satu orang atau satu kelompok sehingga harganya dapat di kendalikan.
Sementara itu, monopoli berdasarkan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999, memuat beberapa kriteria sebagai berikut :
a. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan / atau pemasaran barang dan / atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat.
b. Pelaku usaha patut di duga atau di anggap melakukan penguasaan atas produksi dan / atau pemasaran barang dan / atau jasa sebagaimana yang di maksud dalam Ayat (1), jika :
1. Barang dan / atau jasa yang bersangkutan belum ada sub stitusinya;
2. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk dalam persaingan dan / atau jasa yang sama;
3. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar atau jenis barang atau jasa tertentu.

2. Monosopni
Monosopni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang, yang di kuasai oleh seorang pembeli; oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli.
Sementara itu, monosopni menurut Pasal 18 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
a. Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan / atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat.
b. Pelaku usaha patut di duga atau di anggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana di maksud dalam Ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.


3. Penguasaan Pasar
Penguasaan pasar adalah proses, cara atau perbuatan menguasai pasar. Dengan demikian, pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri – sendiri maupun bersama – sama pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, antara lain berupa :
a. Menolak dan / atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha persaingan untuk tidak melakukan hubungan dengan pelaku usaha pesaingnya itu atau jasa pada pasar bersangkutan;
c. Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4. Persekongkolan
Persekongkolan adalah berkomplot atau bersepakat melakukan kejahatan (kecurangan). Sementara itu, ada beberapa bentuk persekongkolan yang dilarang oleh Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 24 adalah sebagai berikut :
a. Dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan / atau menentukan pemenang tender sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
b. Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapat informasi kegiatan usaha pesaingnya yang di klasifikasikan rahasia perusahaan.
c. Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan / atau pemasaran barang dan / atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan / atau jasa yang di tawarkan atau di pasok menjadi berkurang, baik dari jumlah, kualitas, maupun kecepatan waktu yang di persyaratkan.

5. Posisi Dominan
Posisi dominan artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang di kuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
Sementara itu, Pasal 25 menyatakan bahwa pelaku usaha dapat dikategorikan menggunakan posisi dominan apabila memenuhi kriteria, sebagai berikut :
a. Menetapkan syarat – syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan / atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan / atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas.
b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi atau menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.
Secara kuantitatif ditentukan berapa persentase penguasaan pasar oleh pelaku usaha sehingga dapat dikatakan menggunakan posisi dominan sebagaimana ketentuan di atas, seperti berikut :
a. Satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar untuk satu jenis barang atau jasa tertentu.

b. Dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar untuk satu jenis barang atau jasa.

6. Jabatan Rangkap
Mengenai jabatan rangkap, dalam Pasal 26 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan – perusahaan itu :
a. Berada dalam pasar bersangkutan yang sama;
b. Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan / atau jenis usaha;
c. Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan / jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan / atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat.
7. Pemilikan Saham
Mengenali pemilikan saham, berdasarkan Pasal 27 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis dan melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan antara lain :
a. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa satu jenis barang dan / atau jasa tertentu;
b. Dua atau tiga pelaku usaha, kelompok usaha, dan kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
8. Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan
Sementara itu, Pasal 28 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan. Dalam menjalankan perusahaan tindakan penggabungan, peleburan, pengambilalihan yang akan mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat yang secara tegas dilarang.
     Dengan demikian, penggabungan dapat dilakukan hanya yang bersifat vertikal sesuai dengan Pasal 14 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999.
10.4   Perjanjian yang Dilarang
Dalam bisnis telah di tentukan pelarangan para pelaku usaha, antara lain oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, dan perjanjian dengan pihak luar negeri.
1. Oligopoli
Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar. Dengan demikian, keadaan pasar yang tidak seimbang karena di pengaruhi oleh sejumlah pembeli, dengan demikian maka:
a. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang secara bersama – sama melakukan penguasaan produksi dan / atau pemasaran barang dan atau jasa.
b. Pelaku usaha patut di duga atau di anggap secara bersama – sama dan / atau melakukan penguasaan produksi dan / atau pemasaran barang atau jasa, apabila 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

2. Penetapan Harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian antara lain :
a. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan / atau jasa yang harus di bayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang sama.
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus di bayar oleh pembeli lain untuk barang dan / atau jasa yang sama.
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar.
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan / atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan / atau jasa yang di terimanya dengan harga lebih rendah dari pada harga yang telah di perjanjikan.
3. Pembagian Wilayah
Mengenali pembagian wilayah, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan / atau jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan / atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut berakibat :
a. Merugikan atau dapat di duga akan merugikan pelaku usaha lain;
b. Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan / atau jasa dari pasar bersangkutan.
5. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan / atau pemasaran suatu barang dan / atau jasa.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap – tiap perusahaan atau perseroan anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan / atau pemasaran atas barang dan / atau jasa.
7. Oligopsoni
a. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama – sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan / atau jasa dalam pasar bersangkutan.
b. Pelaku usaha patut di duga atau dianggap secara bersama – sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
8. Integrasi Vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan / atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9. Perjanjian Tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan / atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan / atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan / atau pada tempat tertentu.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan / atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan / atau jasa lain dari pelaku.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan / atau jasa yang membuat persyaratan bahwa pelaku usaha menerima barang dan / atau jasa dari pelaku usaha pemasok, antara lain :

a. Harus bersedia membeli barang dan / atau jasa dari pelaku usaha pemasok;
b. Tidak akan membeli barang dan / atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan dan dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat.

10.5 Hal – Hal yang Di kecualikan dari Undang – Undang Anti Monopoli
Hal – hal yang di kecualikan dari undang – undang anti monopoli, antara lain perjanjian – perjanjian yang di kecualikan; perbuatan yang di kecualikan; perjanjian dan perbuatan yang di kecualikan.
1. Perjanjian yang Di kecualikan
a. Perjanjian yang berkaitan dengan ha katas kekayaan intelektual, termasuk lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang.
b. Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.
c. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan / atau jasa yang tidak mengekang dan / atau menghalangi persaingan. 
d. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan / atau jasa dengan harga yang lebih rendah dari harga yang telah di perjanjikan. 
e. Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas.
f. Perjanjian internasional yang telah di ratifikasi oleh pemerintah.
2. Perbuatan yang Di kecualikan
a. Perbuatan pelaku usaha yang tergolong dalam pelaku usaha.
b. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggota.
3. Perbuatan dan / atau perjanjian yang Di perkecualikan
a. Perbuatan atau perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
b. Perbuatan atau perjanjian yang bertujuan untuk eksport dan tidak mengganggu kebutuhan atau pasokan dalam negeri.


10.6 Komisi Pengawas Persaingan Usaha 
Komisi pengawas persaingan usaha adalah sebuah lembaga yang berfungsi untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya melakukan praktik monopoli dan / atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Hal ini di atur berdasarkan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999, di bentuklah suatu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang bertugas untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktik monopoli dan / atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Adapun tugas dan wewenang KPPU, antara lain :
1. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang telah di buat oleh pelaku usaha;
2. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan / atau tindakan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya;
3. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi;
4. Memberikan saran dan pertimbangan kebijakan pemerintah terhadap praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;
5. Menerima laporan dari masyarakat dan / atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat;
6. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan / atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat;
7. Melakukan penyelidikan dan / atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat yang di laporkan oleh masyarakat atau pelaku atau yang di temukan oleh komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
8. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang – undang;
9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan komisi;
10. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang – undang ini.

10.7 Sanksi
Ketentuan pemberian sanksi terhadap pelanggaran bagi pelaku usaha yang melanggar undang – undang ini dapat di kelompokkan dalam dua kategori, antara lain sanksi administrasi dan sanksi pidana pokok dan tambahan.

1. Sanksi Administrasi
Sanksi Administrasi adalah dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian, pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan posisi dominan, penetapan pembatalan atas penggabungan, peleburan dan pengambilalihan badan usaha, penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda serendah – rendahnya satu miliar rupiah atau setinggi – tingginya dua puluh lima miliar rupiah.
2. Sanksi Pidana Pokok dan Tambahan 
Sanksi Pidana Pokok dan Tambahan adalah di mungkinkan pelaku usaha melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan monopoli, melakukan monosopni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan saham, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua puluh lima miliar rupiah dan setinggi – tingginya seratus miliar rupiah, sedangkan untuk pelanggaran mengenai penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan persekongkolan, jabatan rangkap dikenakan denda minimal lima miliar rupiah dan maksimal dua puluh lima miliar.
Sementara itu, bagi pelaku usaha yang di anggap melakukan pelanggaran berat dapat di kenakan pidana tambahan sesuai dengan Pasal 10 KUH Pidana berupa :
a. Pencabutan izin usaha;
b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang – undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang – kurangnya dua tahun dan selama – lamanya lima tahun;
c. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.  
                                       
Referensi : Sari, Elsi Kartika dan Advendi Simangunsong. 2007. Hukum dalam Ekonomi. Jakarta



Perlindungan konsumen



Pengertian
Berdasarkan pasal 1 angka 2 UU Nomor 8 Tahun 1999, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Dalam perpustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.

Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian tersebut yaitu perusahaan korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dll.

Asas dan Tujuan
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, diantaranya :
1. Asas manfaat
Asas manfaat adalah segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan
Asas keadilan adalah memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil.
3. Asas keseimbangan
Asas keseimbangan adalah memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas keamanan dan keselamatan konsumen adalah untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang di konsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum
Asas kepastian hukum, yakni baik pelaku maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.

Sementara itu, tujuan perlindungan konsumen meliputi :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari ekses negatif pemakai barang dan jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. Menetapkan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapat informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentinganya perlindungan konsumen, sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang dan jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Hak dan Kewajiban Konsumen
Berdasarkan Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999, hak dan kewajiban konsumen antara lain sebagai berikut :
1. Hak konsumen
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan jasa, sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen scara patut.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur sertatidak deskriminatif berdasarkan suku, agama,budaya, daerah, pendididkan, kaya, miskin, dan status sosial lainnya.
h. Hak un tuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan lainnya.

2. Kewajiban konsumen
a. Membaca, mengikuti petunjuk informasi, dan prosedur pemakaian, atau pemanfaatan barang dan jasa demi keamanan dan keselamatan.
b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Berdasarkan Pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 hak dan kewjiban pelaku usaha adalah sebagai berikut :
1. Hak pelaku usaha
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi an nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik.
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnyadi dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d. Hak untuk rehabiliasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan jasa yang diperdagangkan.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan lainnya.

2. Kewajiban pelaku usaha
a. Bariktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b. Melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; pelaku usaha dilarang membeda bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan; pelaku usaha dilarang membeda bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.
d. Menjamin mutu barang dan jasa yang diproduksi dan diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang atau jasa yang berlaku.
e. Memberi kesempatan kepada konsumen un tuk menguji dan mencoba barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan garansi atas barang yang dibuat dan diperdagangkan.
f. Memberi kompensasi, ganti rugi atau pergantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang diperdagangkan.
g. Memberi kompensasi ganti rugi atau pergantian apabila barang dan jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha
Dalam Pasal 8 sampai dengan pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu sebagai berikut :
1. Larang dalam memproduksi/memperdagangkan.
Pelaku usaha dilarang memproduksi/memperdagangkan barang atau jasa, misalnya
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang undangan
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang dan jasa tersebut
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangna barang dan jasa tersebut
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang atau jasa tersebut
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat barang, ukuran, berat/isi bersih atau neto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat
j. Tidak mencantumkan informasi dan petunjuk  penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang undangan yang berlaku
Selain itu, pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar  tanpa informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud.

Sementara itu, pelaku usaha yang melakukan pelanggaran atas larangan tersebut di atas, dilarang memperdagangkan barang dan jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Dengan demikian, pelaku usaha dilarang memperdagangkan persediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

2. Larang dalam menawarkan/mempromosikan/mengiklankan
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan jasa secara tidak benar, dan seolah olah
a. Barang tersebut telah memenuhi dan memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu
b. Barang tersebut dalam keadaan baik atau baru
c. Barang atau jasa tersebut  telah mendapat dan memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu
d. Barang atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi
e. Barang dan jasa tersebut tersedia
f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi
g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu
h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu
i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan jasa lain
j. Menggunakan kata-kata berlebihan sepeerti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko, atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap
k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti
Dengan demikian, pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengikalnakan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan, misalnya
a) Harga atau tarif suatu barang dan jasa
b) Kegunaan suatu barang dan jasa
c) Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang atau jasa
d) Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan
e) Bahaya penggunaan barang atau jasa
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan jsa, dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan, baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Sementara itu, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan jasa melalui pesanan dilarang, misalnya
a. Tidak menepati pesanan dan kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan
b. Tidak menepati janji atau suatu pelayanan dan prestasi

3. Larangan dalam penjualan secara obral/lelang
Pelaku usaha  dalam penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen, antara lain
a. Menyatakan barang dan jasa tersebut seolah olah telah memenuhi standar mutu tertentu
b. Menyatakan barang dan jasa tersebut seolah olah tidak mengandung cacat tersembunyi
c. Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain
d. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain.
e. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain
f. Menaikkan harga atau tarif barang dan jasa ssebelum melakukan obral

4. Larang dalam periklanan
Pelaku usaha periklanan dilaraang memproduksi iklan, misalnya
a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga barang dan tarif jasa, serta ketetapan waktu penerimaan barang jasa
b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan jasa
c. Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang dan jasa
d. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan jasa
e. Mengeksploitasi kejadian dan seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan
f. Melanggar etika dan ketentuan peraturan perundang undangan mengenai periklanan
Klausula Baku dalam Perjanjian
Di dalam Pasal 18 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian, antara lain
1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen
3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan jasa yang dibeli konsumen
4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen secara angsuran
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa
7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya
8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknay sulit atau tidak dapat ddibaca secara jelasatau yang pengungkapannya sulit dimengerti sebagai konsekuensinya setiap klausula baku yang telah diterapkan oleh pelaku usaha dalam dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana di atas telah dinyatakan batal demi hukum. Oleh karean itu, pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku yang dibuatnya yang bertentangan dengan undang-undang.

Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung gugat produk  timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “produk yang cacat”, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan/jaminan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha.

Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam Undang-Undang Nomer 8 Tahun 1999 diatur Pasal 19 sampai dengan pasal 28. Dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.

Bentuk kerugian konsumen dengan ganti rugi berupa pengembalian uang, penggantian barang dan jasa yang sejenis atau setara nilainya, perawatan kesehatan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Sementara itu, Pasal 20 dan Pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan Pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 19.

Dengan demikian, peradilan pidana kasus konsumen menganut sistem beban pembuktian terbalik. Jika pelaku usaha menolak dan tidak memberi tanggapan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen maka menurut Pasal 23 dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan.

Di dalam Pasal 27 disebutkan hal-hal yanng membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila
1. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan
2. Cacat barang timbul pada kemudian hari
3. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang
4. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen
5. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.

Sanksi
Sanksi yang diberikan oleh Undang Undang Nomor 8 tahun 1999, yang tertulis dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 63 dapat berupa sanksi administratif, dan sanksi pidana pokok, serta tambahan berupa perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau pencabutan izin usaha.

Referensi : Sari, Elsi Kartika dan Advendi Simangunsong. 2007. Hukum dalam Ekonomi. Jakarta: Grasindo.