10.1 Pengertian
Sebelum di keluarkan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999, sebenarnya pengaturan mengenai persaingan usaha tidak sehat di dasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum dan Pasal 382 KUH Pidana,
Barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang tertentu, di ancam karena persaingan curang dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus ribu rupiah, bila perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkuren – konkuren orang lain itu.
Dengan demikian, dari rumusan pasal 382 KUH Pidana terlihat bahwa seseorang dapat di kenakan sanksi pidana atas tindakan “persaingan curang” dan harus memenuhi beberapa kriteria, sebagai berikut.
1. Adanya tindakan tertentu yang dikategorikan sebagai persaingan curang.
2. Perbuatan persaingan curang itu dilakukan dalam rangka mendapatkan, melangsungkan, dan memperluas hasil dagangan, atau perusahaan.
3. Perusahaan yang diuntungkan karena persaingan curang tersebut baik perusahaan si pelaku maupun perusahaan lain.
4. Perbuatan pidana persaingan curang dilakukan dengan cara menyesatkan khlayak umum atau orang tertentu.
5. Akibat dari perbuatan persaingan curang tersebut telah menimbulkan kerugian bago konkurennya dari orang lain yang diuntungkan dengan perbuatan si pelaku.
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian monopoli. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha, sedangkan menurut definisi Black’s Law Dictionary,
Monopoly is a privilege or peculiar advantage vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to cary out on particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of the whole supply of a particular commodity,
Selanjutnya dalam Black Law Dictionary dikatakan,
Monopoly as prohibited by secton 2 of The Sherman Antitrust Act, has two elements : (1) Possession of monopoly power in relevant market, (2) Wilful acquisition or maintenance of that power.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Taun 1999 telah didefinisikan mengenai pelaku usaha, yaitu
Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Namun, dalam praktik monopoli berdasarkan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah suatu usaha pemusatan kekuasaan ekonomi oleh suatu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan di kuasainya produksi dan / atau pemasaran atas barang dan / atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Pada hal, Pasal 4 Ayat 2 secara tegas bahwa pelaku usaha patut atau di anggap secara bersama – sama melakukan penguasaan produksi dan / atau pemasaran barang dan atau / jasa jika dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Dengan demikian, Praktik Monopoli tersebut harus di buktikan adanya unsur yang mengakibatkan persaingan tidak sehat dan merugikan kepentingan umum. Oleh karena itu, persaingan berdasarkan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999, “ Persaingan Antar Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan / atau pemasaran barang dan / atau jasa yang di lakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.”
10.2 Asas dan Tujuan
Dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Dengan demikian, tujuan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
3. Mencegah praktik monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat yang di timbulkan oleh pelaku usaha.
4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
10. 3 Kegiatan yang Di Larang
Kegiatan yang di larang dalam praktik bisnis ini adalah monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, persekongkolan, posisi dominan, jabatan rangkap, pemilikan saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis.
1. Monopoli
Monopoli adalah situasi pengadaan barang dagangan tertentu (di pasar lokal atau nasional) sekurang – kurangnya sepertiga di kuasai oleh satu orang atau satu kelompok sehingga harganya dapat di kendalikan.
Sementara itu, monopoli berdasarkan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999, memuat beberapa kriteria sebagai berikut :
a. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan / atau pemasaran barang dan / atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat.
b. Pelaku usaha patut di duga atau di anggap melakukan penguasaan atas produksi dan / atau pemasaran barang dan / atau jasa sebagaimana yang di maksud dalam Ayat (1), jika :
1. Barang dan / atau jasa yang bersangkutan belum ada sub stitusinya;
2. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk dalam persaingan dan / atau jasa yang sama;
3. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar atau jenis barang atau jasa tertentu.
2. Monosopni
Monosopni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang, yang di kuasai oleh seorang pembeli; oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli.
Sementara itu, monosopni menurut Pasal 18 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
a. Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan / atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat.
b. Pelaku usaha patut di duga atau di anggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana di maksud dalam Ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
3. Penguasaan Pasar
Penguasaan pasar adalah proses, cara atau perbuatan menguasai pasar. Dengan demikian, pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri – sendiri maupun bersama – sama pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, antara lain berupa :
a. Menolak dan / atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha persaingan untuk tidak melakukan hubungan dengan pelaku usaha pesaingnya itu atau jasa pada pasar bersangkutan;
c. Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4. Persekongkolan
Persekongkolan adalah berkomplot atau bersepakat melakukan kejahatan (kecurangan). Sementara itu, ada beberapa bentuk persekongkolan yang dilarang oleh Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 24 adalah sebagai berikut :
a. Dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan / atau menentukan pemenang tender sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
b. Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapat informasi kegiatan usaha pesaingnya yang di klasifikasikan rahasia perusahaan.
c. Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan / atau pemasaran barang dan / atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan / atau jasa yang di tawarkan atau di pasok menjadi berkurang, baik dari jumlah, kualitas, maupun kecepatan waktu yang di persyaratkan.
5. Posisi Dominan
Posisi dominan artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang di kuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
Sementara itu, Pasal 25 menyatakan bahwa pelaku usaha dapat dikategorikan menggunakan posisi dominan apabila memenuhi kriteria, sebagai berikut :
a. Menetapkan syarat – syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan / atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan / atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas.
b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi atau menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.
Secara kuantitatif ditentukan berapa persentase penguasaan pasar oleh pelaku usaha sehingga dapat dikatakan menggunakan posisi dominan sebagaimana ketentuan di atas, seperti berikut :
a. Satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar untuk satu jenis barang atau jasa tertentu.
b. Dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar untuk satu jenis barang atau jasa.
6. Jabatan Rangkap
Mengenai jabatan rangkap, dalam Pasal 26 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan – perusahaan itu :
a. Berada dalam pasar bersangkutan yang sama;
b. Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan / atau jenis usaha;
c. Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan / jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan / atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat.
7. Pemilikan Saham
Mengenali pemilikan saham, berdasarkan Pasal 27 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis dan melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan antara lain :
a. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa satu jenis barang dan / atau jasa tertentu;
b. Dua atau tiga pelaku usaha, kelompok usaha, dan kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
8. Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan
Sementara itu, Pasal 28 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan. Dalam menjalankan perusahaan tindakan penggabungan, peleburan, pengambilalihan yang akan mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat yang secara tegas dilarang.
Dengan demikian, penggabungan dapat dilakukan hanya yang bersifat vertikal sesuai dengan Pasal 14 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999.
10.4 Perjanjian yang Dilarang
Dalam bisnis telah di tentukan pelarangan para pelaku usaha, antara lain oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, dan perjanjian dengan pihak luar negeri.
1. Oligopoli
Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar. Dengan demikian, keadaan pasar yang tidak seimbang karena di pengaruhi oleh sejumlah pembeli, dengan demikian maka:
a. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang secara bersama – sama melakukan penguasaan produksi dan / atau pemasaran barang dan atau jasa.
b. Pelaku usaha patut di duga atau di anggap secara bersama – sama dan / atau melakukan penguasaan produksi dan / atau pemasaran barang atau jasa, apabila 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
2. Penetapan Harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian antara lain :
a. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan / atau jasa yang harus di bayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang sama.
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus di bayar oleh pembeli lain untuk barang dan / atau jasa yang sama.
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar.
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan / atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan / atau jasa yang di terimanya dengan harga lebih rendah dari pada harga yang telah di perjanjikan.
3. Pembagian Wilayah
Mengenali pembagian wilayah, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan / atau jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan / atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut berakibat :
a. Merugikan atau dapat di duga akan merugikan pelaku usaha lain;
b. Membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan / atau jasa dari pasar bersangkutan.
5. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan / atau pemasaran suatu barang dan / atau jasa.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap – tiap perusahaan atau perseroan anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan / atau pemasaran atas barang dan / atau jasa.
7. Oligopsoni
a. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama – sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan / atau jasa dalam pasar bersangkutan.
b. Pelaku usaha patut di duga atau dianggap secara bersama – sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
8. Integrasi Vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan / atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9. Perjanjian Tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan / atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan / atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan / atau pada tempat tertentu.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan / atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan / atau jasa lain dari pelaku.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan / atau jasa yang membuat persyaratan bahwa pelaku usaha menerima barang dan / atau jasa dari pelaku usaha pemasok, antara lain :
a. Harus bersedia membeli barang dan / atau jasa dari pelaku usaha pemasok;
b. Tidak akan membeli barang dan / atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan dan dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat.
10.5 Hal – Hal yang Di kecualikan dari Undang – Undang Anti Monopoli
Hal – hal yang di kecualikan dari undang – undang anti monopoli, antara lain perjanjian – perjanjian yang di kecualikan; perbuatan yang di kecualikan; perjanjian dan perbuatan yang di kecualikan.
1. Perjanjian yang Di kecualikan
a. Perjanjian yang berkaitan dengan ha katas kekayaan intelektual, termasuk lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang.
b. Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.
c. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan / atau jasa yang tidak mengekang dan / atau menghalangi persaingan.
d. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan / atau jasa dengan harga yang lebih rendah dari harga yang telah di perjanjikan.
e. Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas.
f. Perjanjian internasional yang telah di ratifikasi oleh pemerintah.
2. Perbuatan yang Di kecualikan
a. Perbuatan pelaku usaha yang tergolong dalam pelaku usaha.
b. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggota.
3. Perbuatan dan / atau perjanjian yang Di perkecualikan
a. Perbuatan atau perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
b. Perbuatan atau perjanjian yang bertujuan untuk eksport dan tidak mengganggu kebutuhan atau pasokan dalam negeri.
10.6 Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Komisi pengawas persaingan usaha adalah sebuah lembaga yang berfungsi untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya melakukan praktik monopoli dan / atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Hal ini di atur berdasarkan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999, di bentuklah suatu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang bertugas untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktik monopoli dan / atau persaingan usaha yang tidak sehat.
Adapun tugas dan wewenang KPPU, antara lain :
1. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang telah di buat oleh pelaku usaha;
2. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan / atau tindakan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya;
3. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi;
4. Memberikan saran dan pertimbangan kebijakan pemerintah terhadap praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;
5. Menerima laporan dari masyarakat dan / atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat;
6. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan / atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat;
7. Melakukan penyelidikan dan / atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat yang di laporkan oleh masyarakat atau pelaku atau yang di temukan oleh komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
8. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang – undang;
9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan komisi;
10. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang – undang ini.
10.7 Sanksi
Ketentuan pemberian sanksi terhadap pelanggaran bagi pelaku usaha yang melanggar undang – undang ini dapat di kelompokkan dalam dua kategori, antara lain sanksi administrasi dan sanksi pidana pokok dan tambahan.
1. Sanksi Administrasi
Sanksi Administrasi adalah dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian, pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan posisi dominan, penetapan pembatalan atas penggabungan, peleburan dan pengambilalihan badan usaha, penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda serendah – rendahnya satu miliar rupiah atau setinggi – tingginya dua puluh lima miliar rupiah.
2. Sanksi Pidana Pokok dan Tambahan
Sanksi Pidana Pokok dan Tambahan adalah di mungkinkan pelaku usaha melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan monopoli, melakukan monosopni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan saham, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua puluh lima miliar rupiah dan setinggi – tingginya seratus miliar rupiah, sedangkan untuk pelanggaran mengenai penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan persekongkolan, jabatan rangkap dikenakan denda minimal lima miliar rupiah dan maksimal dua puluh lima miliar.
Sementara itu, bagi pelaku usaha yang di anggap melakukan pelanggaran berat dapat di kenakan pidana tambahan sesuai dengan Pasal 10 KUH Pidana berupa :
a. Pencabutan izin usaha;
b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang – undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang – kurangnya dua tahun dan selama – lamanya lima tahun;
c. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Referensi : Sari, Elsi Kartika dan Advendi Simangunsong. 2007. Hukum dalam Ekonomi. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar