Sabtu, 21 November 2015

Penyelesaian Sengketa

Sengketa itu terjadi dimulai dari suatu situasi dimana satu pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Perasaan tidak puas akan segera muncul ke permukaan apabila terjadi conflict of interest.  Sementara itu, pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasaaannya kepada pihakkedua, apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memberi perasaan puas kepada pihak pertama maka selesailah konflik tersebut, sebaliknya jika reaksi pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda maka akan terjadi perselisihan, sehingga dinamakan sengketa.
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Pada umumnya, di dalam kehidupan suatu masyarakat telah mempunyai cara untuk menyelesaikan konflik atau sengketa sendiri, yakni proses penyelesaian sengketa yang ditempuh dapat melalui cara-cara formal maupun informal.
Penyelesaian sengketa secara formal berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri dari atas proses melalui pengadilan (litigasi) dan arbitrase (perwasitan), serta proses penyelesaian-penyelesaian konflik secara informal yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui negosiasi, mediasi. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asa kekeluargaan). Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi (Negotiation)
Negosiasi (negotiation) adalah proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) lain. Negosiasi (negotiation) juga diartikan suatu cara penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang berperkara.
Dalam hal ini, negosiasi (negotiation) merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Oleh karena itu, negosiasi (negotiation) merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah, baik yang tidak berwenang mengambil keputusan maupun yang berwenang mengambil keputusan.
Sementara itu, yang harus diperhatikan bagi para pihak yang melakukan perundingan secara negosiasi (negotiation) harus mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan dengan damai. Namun, penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan melalui pihak ketiga dapat terjadi dengan cara, antara lain mediasi dan arbitrase.
2. Mediasi
Mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Dari pengertian tersebut, mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di pengadilan). Pada mediasi, para pihak yang bersengketa, datang bersama secara pribadi. Saling berhadapan antara satu dengan yang lain. Para pihak berhadapan dengan mediator sebagai pihak ketiga yang netral. Peran dan fungsi mediator, membantu para pihak mencari jalan keluar atas penyelesaian yang mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah compromise atau kompromi diantara para pihak.

Sementara itu, pihak ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketa dinamakan sebagai mediator. Oleh karena itu, pengertian mediasi mengandung unsur-unsur, antara lain:
1. Merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan;
2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan;
3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian dan;
4. Tujuan mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.
Dengan demikian, tugas mediator sebagai fasilitator dan menemukan dan merumuskan persamaan pendapat, seperti berikut.
1. Sebagai tugas utama adalah bertindak sebagai seorang fasilitator sehingga terjadi pertukaran informasi yang dapat dilaksanakan.
2. Menemukan dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi para pihak dan berupaya untuk mengurangi perbedaan pendapat yang timbul (Penyesuaian persepsi), sehingga mengarahkan kepada satu keputusan bersama.
Dengan demikian, putusan yang diambil atau yang dicapai oleh mediasi merupakan putusan yang disepakati bersama oleh para pihak yang dapat berbentuk nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi tatanan dalam masyarakat. Selain itu, dapat pula berbentuk putusan yang tidak sejalan dengan tatanan yang ada, tetapi tidak bertentangan dengan nilai atau norma yang berlaku. Namun, putusan tersebut dapat pula bertolak belakang dengan nilai atau norma yang berlaku.
Manfaat-manfaat dari adanya mediasi sebagai berikut.
1. Penyelesaian cepat terwujud (Quick). Rata-rata kompromi di antara pihak sudah terwujud dalam satu minggu atau paling lama satu atau dua bulan. Proses pencapaian kompromi, terkadang hanya memerlukan dua atau tiga kali pertemuan di antara pihak yang bersengketa.

2. Biaya Murah (Inexpensive). Pada umumnya mediator tidak dibayar. Jika dibayar pun, tidak mahal. Biaya administrasi juga kecil. Tidak perlu didampingi pengacara, meskipun hal itu tidak tertutup kemungkinannya itu sebabnya proses mediasi dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.

3. Bersifat rahasia (Confidential). Segala sesuatu yang diutarakan para pihak dalam proses pengajuan pendapat yang mereka sampaikan kepada mediator, semuanya bersifat tertutup. Tidak terbuka untuk umum seperti halnya dalam proses pemerikasaan pengadilan. Juga tidak ada peliputan oleh wartawan.

proses pemerikasaan pengadilan. Juga tidak ada peliputan oleh wartawan.

4. Bersifat fair dengan metode kompromi. Hasil kompromi yang dicapai merupakan penyelesaian yang mereka jalin sendiri, berdasar kepentingan masing-masing tetapi kedua belah pihak sama-sama berpijak di atas landasan prinsip saling memberi keuntungan kepada kedua belah pihak. Mereka tidak terikat mengikuti preseden hukum yang ada. Tidak perlu mengikuti formalitas hukum acara yang dipergunakan pengadilan. Metode penyelesaian bersifat pendekatan mencapai kompromi. Tidak perlu saling menyodorkan pembuktian. Penyelesaian dilakukan secara: a. Informal, b. Fleksibel, c. Memberi kebebasan penuh kepada para pihak mengajukan proposal yang diinginkan.

5. Hubungan kedua belah pihak kooperatif. Dengan mediasi, hubungan para pihak sejak awal sampai masa selanjutnya, dibina atas dasar hubungan kerjasama (cooperation) dalam menyelesaikan sengketa. Sejak semula para pihak harus melemparkan jauh-jauh sifat dan sikap permusuhan (antagonistic). Lain halnya berperkara di pengadilan. Sejak semula para pihak berada pada dua sisi yang saling berhantam dan bermusuhan. Apabila perkara telah selesai, suasana membara akan terus membara dalam dada mereka.

6. Hasil yang dicapai WIN-WIN. Oleh karena penyelesaian yang diwujudkan berupa kompromi yang disepakati para pihak, kedua belah pihak sama-sama menang. Tidak ada yang kalah (lose), tidak ada yang menang (win), tetapi win-win for the beneficial of all. Lain halnya penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Pasti ada yang kalah dan menang. Yang menang merasa berada di atas angin, dan yang kalah merasa terbenam diinjak-injak pengadilan dan pihak yang menang.

7. Tidak emosional. Oleh karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk mencapai kompromi, masing-masing pihak tidak perlu saling ngotot mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki. Tidak saling membela dan mempertahankan kebenaran masing-masing. Dengan demikian proses penyelesaian tidak ditunggangi emosi.
Namun, jika dengan cara mediasi tidak menghasilkan suatu putusan diantara pihak maka masing-masing pihak boleh menempuh cara penyelesaian lain, seperti melalui pengadilan, arbitrase dan lain-lain.
3. Konsiliasi
Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang  berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Namun, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian dari konsiliasi. Akan tetapi, rumusan itu dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 10 dan alinea 9 Penjelasan Umum, yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga alternatif dalam penyelesaian sengketa.
Dengan demikian, konsiliasi merupakan proses penyelesaian sengketa alternatif dan melibatkan pihak ketiga yang diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa.
Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat putusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan di antara mereka.
Lain halnya di negara-negara kawasan Amerika, Eropa, maupun di kawasan Pasifik seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan dan Singapura. Sistem konsiliasi sangat menonjol sebagai alternatif. Mereka cenderung mencari penyelesaian melalui konsiliasi daripada mengajukan ke pengadilan.
Biasanya lembaga konsiliasi merupakan salah satu bagian kegiatan lembaga arbitrase, arbitrase institusional, bertindak juga sebagai konsiliasi yang bertindak sebagai konsiliasi adalah panel yang terdaftar pada arbitrse institusional yang bersangkutan:

1. Sengketa yang diselesaikan oleh lembaga konsiliasi pada umumnya meliputi sengketa bisnis;
2. Hasil penyelesaian yang diambil berbentuk resolution, bukan putusan atau award;
3. Oleh karena itu, hasil penyelesaian yang berbentuk resolusi tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan.
Dengan demikian, walaupun resolusi itu memang bersifat mengikat kepada para pihak, apabila salah satu pihak tidak menaati dengan sukarela tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan. Dalam hal yang seperti itu penyelesaian selanjutnya harus mengajukan gugatan ke pengadilan.
4. Arbitrase
Arbitrase adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa. Dalam hal ini, ada beberap definisi yang diberikan oleh para ahli hukum, antara lain Subekti dan Abdulkadir Muhammad.
a. Subekti mengatakan arbitrase merupakan suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk atau menaati keputusan yang akan diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih atau yang ditunjuk.
b. Abdulkadir Muhammad mengatakan arbitrase merupakan badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan kehendak bebas ini dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.
c. Dalam pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan. Akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan.
Dalam pada itu, penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase lebih disukai oleh pelaku ekonomi dalam kontrak bisnis yang bersifat nasional maupun internasional dikarenakan sifat kerahasiaannya, prosedur sederhana, putusan arbiter mengikta para pihak, dan disebabkan putusan yang diberikan bersifat final.
Arbitrase adalah sebagai upaya hukum dalam perkembangan dunia usaha, baik nasional maupun internasional. Pemerintah telah mengadakan pembaharuan terhadap undang-undang arbitrase nasional dengan dikeluarkan undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Sementara itu, sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasi sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal walaupun disebabkan oleh suatu keadaan, seperti berikut.
a. Meninggalnya salah satu pihak,
b. Bangkrutnya salah satu pihak,
c. Novasi (Pembaharuan Utang),
d. Insolvensi (Keadaan tidak mampu membayar) salah satu pihak,
e. Pewarisan,
f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok,
g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut, atau
h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke pengadilan negeri maka pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan. Dalam pada itu, arbitrase ada dua jenis, yakni:
1. Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter
Arbitrase yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu. Oleh karena itu arbitrase ad hoc bersifat “Insidentil”, dimana kedudukan dan keberadaaanya hanya untuk melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu makaapabila telah menyelesaikan sengketa dengan diputuskan perkara tersebut, keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.
2. Arbitrase institusional
Suatu lembaga atau badan arbitrase yang bersifat “permanen”, sehingga arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar, meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus.
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional dilakukan dalam waktu palinga lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan. Dengan demikian, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan catatan yang merupakan akta pendaftaran.
Dengan demikian, putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum dan mengikat para pihak. Keputusan arbitrase bersifat final, berarti putusan arbitrase merupakan keputusan final dan karenanya tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Putusan arbitrase dibubuhi perintah oleh ketua pengadilan negeri untuk dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang keputusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam hal pelaksanaan keputusan arbitrase internasional berdasarkan undang-undang nomor 30 tahun 1999, yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, suatu putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, jika telah memenuhi persyaratan seperti berikut.
a. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
b. Putusan arbitrase internasional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
c. Putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia dan keputusannya tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
d. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dengan demikian, suatu putusan arbitrase terhadap para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur, seperti berikut.
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah keputusan dijatuhkan diketahui palsu atau dinyatakan palsu.
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan dan yang disembunyikan oleh pihak lawan.
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaaan sengketa.
Dengan demikian, permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari pernyataan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negerti di mana permohonan tersebut diajukan kepada ketua pengadilan negeri.
Terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
5. Peradilan
Dalam hal terjadi suatu pelanggaran hukum, baik berupa hak seseorang maupun kepentingan umum maka tidak boleh begitu saja terhadap si pelanggar itu diambil suatu tindakan untuk menghakiminya oleh sembarang orang. Perbuatan “menghakimi sendiri” sangatlah tercela, tidak tertib, dan harus dicegah.
Dengan demikian, tidak hanya dengan suatu pencegahan, tetapi diperlukan perlindungan dan penyelesaian. Oleh karena itu, yang berhak memberikan perlindungan dan penyelesaian adalah negara. Untuk itu, negara menyerahkan kepada kekuasaaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan dengan para pelaksananya, yaitu hakim. Pengadilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peradilan umum.
Dalam menegakkan hukum, hakim melaksanakan hukum yang berlaku dengan dukungan rasa keadilan yang ada padanya berdasarkan hukum yang berlaku, meliputi yang tertulis dan tidak tertulis. Oleh karena itu, disebutkan bahwa hakim atau pengadilan adalah penegak hukum.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berbeda di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan tata usaha negara dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.
6. Peradilan Umum
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yang dimaksud dengan peradilan umum adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang pada umumnya mengenai perkara perdata dan pidana.
Dengan demikian, kekuasaaan kehakiman dilingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.
1. Pengadilan Negeri

1. Pengadilan Negeri
Pengadilan negeri adalah pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, yang dibentuk dengan keputusan presiden. Sementara itu, pengadilan negeri bertugas dan berwewenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.
2. Pengadilan Tinggi
Pengadilan tinggi adalah pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi yang dibentuk dengan undang-undang.
Sementara itu, pengadilan tinggi bertugas dan berwewenang mengadili perkara pidanan dan perkara perdata di tingkat banding. Pengadilan tinggi juga bertugas dan berwewenang mengadili di tingkat pertama dan terkahir sengketa kewenangan yang mengadili antar pengadilan negeri di daerah hukumnya.
3. Mahkamah Agung
Ketentuan mengenai Mahkamah Agung diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya melepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain, yang berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
Mahkamah Agung bertugas dan berwewenang memeriksa dan memutus;
a. Permohonan kasasi;
b. Sengketa tentang kewenangan mengadili;
c. Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan. Dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan, karena;
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang,
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku,
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam perundang-undangan.
Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu kali dan tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan lagi.
Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui ketua pengadilan negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang diperlukan.
Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berpekara atau ahli warisnya atau seorang wakilnya secara khusus dikuasakan untuk itu dengan tenggang waktu pengajukan 180 hari yang didasarkan atas alasan, seperti berikut.
1. Didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
2. Setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.
4. Mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan sebab-sebabnya.
5. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya yang telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Referensi : Sari, Elsi Kartika dan Advendi Simangunsong. 2007. Hukum dalam Ekonomi. Jakarta: Grasindo.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar